Rabu, 24 April 2013

AWAL SEBUAH KESUKSESAN



            
            “Yu’laanu ‘alaa jamii’i thoolibah fiil ma’haadi binaa il ummah ‘alaihinna ayyajtami’na fii makaani ssholah...........”  Suaraku terdengar melalui speaker-speaker pondok.
            Tadi malam beberapa orang dari kelasku dilantik menjadi pengurus OSIS. Aku dipilih menjadi salah satu anggota sie peribadatan, dan itu artinya aku mendapat amanah untuk mengurus santriwati Bina Umat dalam hal ibadah seperti sholat. Shubuh ini aku sudah memulai tugasku yang pertama yaitu menyetel adzan, mengumumkan bahwa telah masuk waktu shubuh dan membangunkan para santriwati dari kamar per kamar.
            “Hayya ukhtii istaiqidznaa tsumma sholnaa(ayo ukhti bangun semua, lalu sholat).”  teriakku sambil menggedor pintu kamar-kamar. 
*******
            Fal, hari ini mau perijinan kemana?” tanya Iif teman dekatku.
            “Aku bingung If mau kemana, dari kemarin tiap perijinan aku pulang terus. Inginnya sih perijinan ini jalan-jalan aja.
“Oh gitu, yaudah kamu ikut aku aja, aku dan teman-teman  mau nonton negeri  5 menara di amplaz, gimana?” tawar Iif.
            “Okedeh If, aku ikut kalian aja. Boleh sekalian titip beli kartu perijinan nggak?”
            “Boleh kok, sebentar ya, masih banyak yang mengantri.”
            Jum’at  ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh santriwati Bina Umat karena hari jum’at kami libur. Minggu ini kami mendapat kesempatan untuk perijinan. Aku diajak teman-temanku perijinan ke amplaz.
            Kami berangkat dari pondok jam  8 pagi. Dari pondok
kami berjalan kaki sejauh 1,5 km untuk mendapatkan bus umum. Kami berangkat menaiki bus jalur 6 sampai UGM lalu menggunakan trans jogja menuju amplaz.
            “Qodim jiddan If, kam daqoiq kaman (lama banget If, berapa menit lagi)?” tanyaku yang mulai tak sabar.
            “ishbirii Fal, lahdhoh ‘asyaro daqoiq kaman(sabar Fal, sebentar 10 menit lagi)” jawab Iif.
            Perjalanan dari pondok sampai amplaz memang membutuhkan waktu yang cukup lama, mungkin mencapai 1 jam perjalanan menggunakan bus. Tapi mau bagaimana lagi, kendaraan kami hanya bus dan kaki.
            “Pas banget amplaznya baru buka” seru temanku Risma yang biasa kami panggil Bkb.
            “Langsung beli tiket nonton aja yuk! Soalnya kalau ntaran pasti ramai” ajak temanku Nida.
            Kami ber-empat langsung menuju bioskop 21 untuk membeli tiket nonton. Ternyata disana kami bertemu dengan rombongan lain dari kelasku yang ingin menonton negeri 5 menara juga. Film negeri 5 menara saat itu memang sangat terkenal, apalagi di kalangan anak-anak pondok. Karena film tersebut mengisahkan suka-duka mencari ilmu di Pondok Gontor, Jawa Timur.
*******
            “Filmnya tadi keren ya? Hampir mirip dengan kehidupan kita sekarang. Bedanya mereka ikhwan kita akhwat.” Seruku pada teman-teman di perjalanan pulang.
            “Iya, semoga kelak kita juga sukses seperti mereka.” Ucap Nida.
            “Aamiin” jawabku, Bkb, dan Iif kompak.
            Jam  2 siang kami ber-empat dan rombongan teman-teman yang lain bergegas pulang, karena sebelum jam 4 sore kami harus sampai pondok. Kami pulang menggunakan trans jogja menuju Malioboro untuk pindah ke bus jalur 15.
            Disepanjang jalan menuju malioboro kami asyik bercerita tentang film yang kami tonton tadi sambil berkhayal kelak kami juga akan sukses seperti tokoh-tokoh shohibul menara.
            “Ukhtii, mathor. Kaifa narji’? (Ukhtii, hujan. Kita pulangnya gimana?)” Kata Alsa tiba-tiba.
            “Yaah..” Kami semua serempak mengeluh dan pasrah.
            Aku membayangkan bagaimana nasib kami nanti jika terlambat sampai pondok lalu nanti malam dipanggil ke mahkamah keamanan. Huft ingin menangis rasanya.
            Sampai di halte Malioboro rombongan kami yang berjumlah 12 orang turun dari bus dan menunggu hujan reda. Sepuluh menit kami menunggu namun hujan tak kunjung reda. Karena waktu sudah mulai sore, kami pun berniat untuk berlari menuju depan Bank BNI 46 guna menunggu bus jalur 15. Namun tiba-tiba ada 2 orang bapak penjual menawarkan pada kami 2 payung besar yang biasa dipakai untuk berdagang.
            “Lumayan, pinjem aja ya?” kata Arifa meminta persetujuan kami.
            “Oke” jawab Alsa.
            Kami pun sepakat menerima tawaran itu. Akhirnya di tengah hujan yang masih menghantam bumi kami berlari-lari kecil di bawah naungan payung besar. Tak peduli dengan orang-orang yang menatap aneh kami, dua belas akhwat berjalan dibawah dua payung besar berwarna pelangi itu. Yang penting kami cepat segera sampai pondok.
            Kami langsung menaiki bus jalur 15 yang akan menuju Bantulan. Karena disana kami harus ganti jalur bus lagi.
            “Semoga di Bantulan nanti kita dapat bus” ucap nellin temanku.
            “Harus, pokoknya kita nggak boleh terlambat sampai pondok.” Afi menimbali.
            Hujan mulai reda, hanya gerimis tersisa. Kami menunggu bus yang tak kunjung datang dengan harap-harap cemas. Lima menit, sepuluh menit hingga dua puluh menit berlalu.
            “Uuh, menyebalkan sekali...” gumamku dalam hati.
            “Udah sore ukh, harapan terakhir kita ya apalagi kalau bukan numpang pick up orang.” Ujar Arifa memberi solusi pada kami.
            “Iya, jalan terakhir hanya itu. Semoga kita dapat tumpangan.” Kataku sambil mengawasi kendaraan yang lewat.
            “Pak, pak, stop pak,” Seru Arifa memberhentikan pick up yang lewat sambil melambaikan tangan.
            “Pak, kita boleh numpang di pick up bapak sampai Kolowenang nggak pak?” Ujar Arifa penuh harap.
            “Oh, mari dik kami antar.” Kata seorang Ibu yang duduk disamping sopir sambil tersenyum.
            Saat itu kami benar-benar senang sekali mendapat tumpangan gratis. Di sepanjang perjalanan kami tersenyum lebar sambil menikmati hembusan angin diiringi rintik-rintik hujan yang tersisa.
            “Sore yang indah.” Gumamku dalam hati sambil tersenyum.
            Tiba di Kolowenang kami mengucapkan banyak terimakasih pada bapak ibu yang telah memberikan tumpangan pada kami. Kami melanjutkan perjalanan menuju pondok dengan jalan kaki. Aku melirik jam tanganku. Oh tidak..
*******
            “Kalian tau apa salah kalian?” Tanya kakak kelas dari sie keamanan dengan bahasa arab yang fashih.
            “Pulang perijinan terlambat Ukh.” Aci angkat bicara.
            “Oh, bagus kalau kalian sadar. Tau hukumannya kan? Kalian harus membayar denda masing-masing anak berupa satu sak semen.” Ujar salah satu qismul amni (sie keamanan).
            Hening beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing.
            “Fahimtunna?” Tanya sie keamanan dengan tegas.
            “Fahimnaa.” Jawab kami kompak.
            Baru kali ini Aku terlambat pulang perijinan. Memalukan, anggota OSIS melanggar peraturannya sendiri.
            “Sms orang tua yuk Fal, minta dijenguk sama suruh bawa satu sak semen.” Ajak Iif.
            “Ayo, kamu udah bawa uang buat sms?” Tanyaku.
            “Udah kok, ini seribu buat berdua.” Jawab Iif.
            Di pondok kami tidak boleh membawa barang-barang elektronik seperti hp, laptop, mp3, radio, bahkan setrika. Jadi jika ingin sms orang tua, kami menggunakan hp pondok dan harus membayar Rp 500 per sms. Kami para santri keberatan dengan ketentuan tersebut, tapi mau bagaimana lagi kami harus mematuhinya.
            “tet..tet..teeet, wal aan al-waqtu lit ta’allum.” Bel berbunyi diikuti pengumuman yang menunjukkan waktu belajar. Kami bergegas keluar dari kamar dan dan menuju mushola, balkon, dan koridor untuk belajar.
*******
            “Man dakhil? Ba’daki man?(siapa didalam? Habismu siapa?)tanyaku mengantri mandi.
            “Rahma, maa fii, ba’dii faqod (Rahma, nggak ada, habisku aja.” Jawabnya.
            “Oke, sa ahkud tho’am awalan(aku mau ambil makan dulu)” kataku sambil mengambil piring.
            Menu sarapan pagi ini yaitu tumis buncis dengan lauk peyek teri. Karena aku tidak suka sayuran, aku menambahkan garam dan air kedalam nasiku, yah daripada hanya nasi lauk peyek teri. Setiap hari menu makanannya sayuran, bikin aku badmood makan. Pantas saja jika semenjak tinggal di pondok berat badanku menurun.
            Selesai makan dan mandi, aku bergegas berangkat ke sekolah sebelum sie keamanan mendahuluiku. Jarak dari pondok menuju sekolah akhwat hampir 2 km. Setiap hari kami berjalan kaki melewati rumah-rumah penduduk untuk menuju sekolah. Untuk proses kegiatan mengajar santriwati akhwat pihak sekolah masih menyewa bangunan tua bekas SD di daerah desa dekat pondok. Tidak mengherankan jika di atap kelas banyak bintang-bintang. Kondisi sekolah yang terletak di tengah sawah ini membuat kami para santri sering mengantuk di tengah pelajaran berlangsung.
            “Ustadzah, gentengnya bocor.” Keluh Aci temanku saat pelajaran.
            “Wah, hujannya deras sekali. Ya sudah Ci, kamu geser ke tempat yang kering.” Jawab ustadzah.
            “Ust, kapan kita punya bangunan sekolah sendiri? Masa akhwat pondoknya megah kaya hotel tapi sekolahnya miris begini ust? Udah jalannya jauh sampai sekolah gentengnya bolong. Huft... enakan ikhwan ust, meskipun pondok kita lebih bagus daripada mereka tapi sekolah mereka dekat, bagus, deket lab TIK pula.” Giliran Ichak yang protes.
            “Iya-iya, ustadzah tau perasaan kalian. Berdo’a saja supaya sekolah banyak rezeki.” Jawab ustadzah sabar sambil tersenyum.
            Aku termenung sejenak. Kalau dipikir-pikir belajar di bangunan tua seperti ini mengasyikkan juga. Aku yakin suatu saat nanti kami akan kangen dengan suasana belajar disini . Akan banyak kenangan di sekolah Jitar.
            “Thoyyib, hayya nahtatim haadza liqo’ bi qiraa ati hamdalah.” Suara ustadzah mengakhiri pelajaran.
            “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin.” Jawab kami serempak.
            Hujan masih turun, sebentar lagi waktu ashar tiba. Kami harus segera pulang ke pondok. Karena tidak ada yang membawa payung atau mantel, kami nekad pulang hujan-hujanan. Siang itu aku dan teman-teman berlarian tanpa alas kaki lewat sawah-sawah yang mulai menguning. Hmm.. seru sekali hari ini.
            Sampai pondok aku berniat langsung mandi, namun ternyata air sepondok mati.
            “Mati lagi mati lagi, cucian baju menumpuk, jemuran belum kering lagi, arrgh.” Ucapku sebal.
            “Iya, menyebalkan sekali. Selalu saja begini, mana diluar hujannya masih deras lagi.” Lanjut mu’adzah sang ketua OSIS SMP.
            “Aku tau Muk, gimana kalau kita nampung air hujan untuk mandi, wudhu, dan sekalian nyuci baju. Gimana?” Sahutku gembira.
            “Wah, boleh juga Fal, ba’da ashar ya.” Jawabnya.
            “Oke.”
*******
            “Kalian kreatif sekali Fal, Muk, memanfaatkan hujan di waktu air mati.” Kata Ustadzah Barokah.
            “Hehe iya Ust, seru kan?” kata Mu’adzah.
            “Thiwul, aku antri nampung air hujannya ya?” Tanya Zulfa teman sekamarku yang biasa kami panggil cupank.
            “Oke Cup.” Jawabku.
            Ada kesenangan tersendiri mencuci baju menggunakan air hujan. Apalagi kami melakukannya bersama-sama. Tak lama setelah aku dan Mu’adzah selesai menjemur baju hujan pun reda.
            “Yah, Fal hujannya reda. Kita belum menampung air untuk mandi.” Kata Mu’adzah kecewa.
            “Wah iya Muk, terus kita mau mandi dimana?” Tanyaku.
            “Wul, Muk, mau ikut tidak? Aku dan Bkb mau mandi di IBS.” Ajak Iif padaku dan Mu’adzah.
            “Uriid, walaakin intadzirna lahdhoh (mau, tapi tunggu kami sebentar).” Jawabku.
            “Na’am, bi sur’ah (iya, cepetan).” Pinta Bkb.
            Mau nggak mau sore ini kami mandi di IBS (sekolah ikhwan). Air pondok akhwat masih mati. Tak hanya IBS tempat kami mengungsi mandi, kamar mandi  warga pun kami gunakan.
            Aku mendapat antrian paling akhir, itu artinya kami bisa sampai maghrib di IBS. Membuang-buang waktu saja. Untung saja IBS sepi dari santri ikhwan jadi kami bisa lebih santai. Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang bersinar di wajah temanku Fulan.
            “MasyaAllah, kamu bawa hape?” Tanyaku tak percaya.
            “Ssttt.. usqutii Wul. (diem Wul).” Katanya berbisik padaku.
            “Mushoddiqun jiddan anti (pedhe banget kamu.)” kataku.
            “Jangan lapor ke qismul amni  lho Wul.” Ujar Fulan.
            “Iya iya, kamu hati-hati saja kalau tiada pengecekan mendadak.” Aku mengingatkan.
            “Na’udzubillah deh,  semoga aman selalu.” Ujar Fulan.
            Keesokan harinya di Sekolah...
            “Maa dza darsunal aanaa?” Tanya Ustadz Didi.
            “Darsunal aanaa al-mahfuudzaat.” Jawab kami serempak.
            Pagi itu saat pelajaran mahfudzat atau peribahasa arab, Ustadz Didi membahas sifat rendah hati. Kami menyimak seksama apa yang disampaikan Ustadz. Beliau menyuruh kami menghafalkan arabnya lalu beliau menjelaskan artinya.
            “Rendahatilah seperti bintang, apabila dilihat dari permukaan air maka ia akan terlihat rendah, tapi sebenarnya dia tinggi. Tetapi kita tidak boleh bersifat takabur seperti asap yang mengepul ke atas dan lama-lama menghilang.” Beliau menjelaskan.
            “Jika kelak kalian menjadi orang sukses, kalian harus tetap rendah hati dan jangan bersifat takabur, maka dari itu saya harap kalian mulai bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agar kelak menjadi orang yang bermanfaat. Masih ingat mahfudhzat kelas 7 kan? Khoirunnaasi an fa’uhum linnaas, sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain.”
            “Ustadz tunggu 20 tahun lagi. Berarti di tahun 2032 kalian harus menjadi mutiara-mutiara Bina Umat, Ustadz serius, Ustadz ingin bertemu saat kalian telah menjadi orang sukses, tak hanya sukses pada pekerjaan, kalian juga harus sukses dalam membina rumah tangga masing-masing. Usaha kalian selama ini akan tampak 20 tahun lagi, besok kita buktikan bersama ‘di tahun 2032 siapa yang menjadi mutiara dan siapa yang menjadi sampah’.” Lanjut Ustadz Didi.
            Glegar... Kata-kata Ustadz Didi barusan membuatku bergetar, kata-kata serius yang terucap dari beliau saat itu benar-benar memotivasi kami untuk lebih semangat dalam belajar.
            “Kalian mau kan di tahun 2032 nanti kita berkumpul dalam keadaan menjadi mutiara?” Tanya Ustadz.
            “InsyaAllah Tadz.” Jawab kami.
*******
            “Haaah.. menyebalkan! Siapa sih yang berantakin lemariku?” Teriak Fulan dari kamarnya.
            “Sama Lan, lemariku juga berantakan” Kata Aci.
            “Jangan-jangan tadi ada pengecekan.” Ujar Fulan panik.
            “Sumpah?  Wah, mesti Mp3-ku disita.” Keluh Aci.
            “Kamu masih untung Ci, tempatku yang disita Hp, tuh kan Hp-ku beneran disita.” Kata Fulan sedih sambil mencari Hpnya.
            “Siap-siap saja lah nanti malam apa yang akan terjadi, sepertinya aku juga.” Ujar Icha.
            Malam hari sehabis sholat isya’ berjamaah para santriwati berkumpul di mushola.
            “Ustadzah menemukan 3 Hp, 5 Mp3, 1 radio, foto-foto Ikhwan, dan surat dari ikhwan.” Ustadzah Masfufah memulai pembicaraan.
            Hening seketika, tak satupun dari kami berani memandang wajah ustadzah.
            “Siapa diantara kalian yang merasa memiliki barang yang Ustadzah sebutkan tadi?” Tanya Ustadzah.
            Diam, tak ada satu santripun berani angkat bicara.
            “Sebenarnya Ustadzah sudah tau pemilik barang-barang ini, Ustadzah hanya ingin mengetes kejujuran kalian saja.” Tegas Ustadzah.
            “Yakin, kalian tidak ada yang mengaku? Atau mau Ustadzah sebut namanya?” Lanjut beliau.
            5 menit dalam keheningan...
            “Saya Ust.” Fulan memberanikan diri mengaku.
            “Bagus, sudah ada yang mengaku. Yang lain mana? Kalian ini tinggal mengaku saja apa susahnya?” Tanya Ustadzah.
            Hingga 10 menit berlalu..
            “Baiklah, sesuai konsekuensi pondok ‘Barang siapa membawa Hp, maka Hp tersebut akan disita lalu di banting. Dan orang yang membawa harus menggunakan khimar (kerudung) hijau selama seminggu’. Daripada harus menunggu lama, langsung saja Ustadzah mulai.” Kata Ustadzah.
            Ustadzah Masfufah memulai aksinya. Beliau dibantu para Ustadzah yang lain. Hp yang tersita benar-benar dibanting hingga rusak, bahkan baterai Hpnya dipukul menggunakan palu agar tak sedikitpun bagian dari Hp utuh. Kami seluruh santri hanya bisa menatap kejadian itu dengan kasihan.
            “Laila mana?” Tanya Ustadzah.
            “Saya Ust.” Jawab Laila.
            “Maju kesini.” Perintah beliau.
            Laila maju ke tengah-tengah para santri dengan hati bergetar.
            “Ini benar tulisanmu?” Tanya Ustadzah.
            “Iya Ust, benar itu tulisan saya.” Jawab Laila gemetar.
            “Lalu kamu menulis surat ini untuk siapa? Kamu kenal sama orang yang ada di foto ini?” Tanya Ustadzah sambil menujukkan foto dan secarik surat.
            “Saya menulis surat untuk orang yang ada di foto itu Ust, namanya Zaki.” Jawab Laila jujur.
            “Darimana kamu kenal Ikhwan Bina Umat? Ada hubungan apa kalian?” Tanya Ustadzah kecewa.
            “Dari facebook Ust, mm kami pacaran Ust.” Jawab Laila sambil menunduk.
            “Astaghfirullahal ‘adziim, Ustadzah benar-benar kecewa dengan kamu. Jawab jujur pertanyaan Ustadzah, kalian pernah ketemuan?” Tanya Ustadzah menginterogasi.
            “Maafkan kami Ust sudah bikin para Ustadz-ustadzah kecewa. Kami pernah ketemuan sekali Ust, waktu itu sepulang akhwat perijinan dan saya memberi dia coklat Ust.” Jawab Laila polos.
            Rasanya ingin tertawa dari tadi saat Laila membuka rahasianya selama ini. Aku yakin Ustadzah juga pasti menganggap hal ini lucu dan kekanak-kanakan. Tapi biarlah, itu sudah termasuk melanggar peraturan.
            “Baiklah Laila, kamu pilih menikah dengan segera atau putus dengan Zaki sekarang?” Tanya Ustadzah serius.
            Kami semua terkejut mendengar pertanyaan Ustadzah yang serius.
            “Putus Ust..” Jawab Laila.
            “Baiklah, nanti Ustadzah sampaikan lewat musyrif di pondok Ikhwan.” Kata Ustadzah.
            “Anak-anak, Ustadzah sangat memohon pada kalian jangan sampai kejadian ini terulang kembali. Cukup ini yang terakhir.” Pesan Ustadzah pada kami.
            “InsyaAllah Ust.” Jawab kami.
*******
            “MasyaAllah, Thifal...” Seru Mu’adzah sambil menyalami dan memelukku.
            “Mumuuuk..” Balasku menyapanya.
            “Subhanallah, lama sekali ya kita tidak bertemu, wah sudah banyak yang berubah dari kamu Fal.” Kata Mu’adzah.
            “Ah Mumuk bisa aja. Eh, gimana sekarang? Jadi mutiara kan?” Tanyaku pada Mu’adzah.
            “Alhamdulillah Fal, sekarang aku dan suamiku membina yayasan anak yatim piatu. Kalau kamu dan suamimu Fal?” Tanyanya.
            “Alhamdulillah aku sekarang jadi dosen di UMY, dan suamiku dosen di UII.” Jawabku.
            “Subhanallah, wah kalian keluarga dosen.” Gurau Mu’adzah.
            “Hahaha, Muk biasa aja kok.”
            20 tahun telah berlalu. Sesuai  rencana 20 tahun lalu, impian Ustadz Didi benar-benar tercapai. Yaitu mengumpulkan kami disaat kami telah menjadi mutiara-mutiara yang telah berhasil.
            “Lho Laila, kamu menikah dengan Zaki?” Tanya Acci.
            “Hmm, iya Ci, Allah mempertemukan kami kembali.” Jawab Laila bahagia.
            “Subhanallah, ternyata banyak kabar bahagia dari kalian yang belum aku ketahui.” Ujar Acci.
            “Iya, wah jadi teringat 20 tahun yang lalu. Banyak kenangan yang sudah kita lalui bersama selama 3 tahun.” Kata Aik terharu.
            “Betul, eh Aik, anak-anakmu mana?” Tanya Icha.
            “Oh, itu didepan tadi main sama anaknya Thifal sama Iif.” Jawab Aik.
            “Subhanallah ya Ibu, Bapak ternyata kalian benar menjadi mutiara Bina Umat. Ustadz bangga dengan kalian” Kata Ustadz Didi bangga.
            “Kami juga selalu termotivasi dengan kata-kata Ustadz kok.” Kata Hudzaifah.
            “Ustadz sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan kalian saat ini.” Kata Ustadz sambil tersenyum.
            Tak ku sangka, lengkap 58 alumni Bina Umat angkatan ke 7 hadir bersama keluarga kecil mereka. Suasana yang mengharukan saat kami mengingat 20 tahun silam perjuangan kami. 58 alumni tersebut benar-benar menjadi mutiara dan tak ada satupun yang menjadi sampah.
            Kini, beberapa dari kami telah menjadi dokter, dosen, pengusaha, polisi, pilot bahkan pejabat negara. Aku bangga dengan kawan-kawanku. Aku dan mereka tak hanya sukses dalam pekerjaan. Alhamdulillah dalam membina keluarga kami diberi kelancaran oleh Allah SWT. Terimakasih atas nikmatmu ini Ya Allah, semoga kami tak hanya bekumpul bahagia di dunia saja, namun kelak kami dapat berkumpul di FirdausMu Ya Rabb. Aamiin.
~oleh: thifal_mufidah

*berdasarkan pengalaman pribadi dan tambahan dari imajinasi :)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar